RASIONALISASI BERORGANISASI
Rasionalisasi berorganisasi mendorong arah kebudayaan
dalam berorganisasi. Kebudayaan memiliki kecenderungan affirmative atau critical.
Affirmative adalah cenderung sebagai pengukuh kekuasaan sedangkan
critical sebagai pengawas kekuasaan.
Pada
awal kebangkitan nasional, Budi Utomo lahir sebagai organisasi kaum terpelajar
yang cenderung memiliki kebudayaan affirmative terhadap kekuasaan. Budi Utomo
tidak pernah mengkritik feodalisme, bahkan beberapa anggota organisasi dan
pimpinan terkemuka terlibat dalam kekuasaan feodal. Dokter Radjiman
adalah dokter di kalangan Kasunanan Surakarta, dan R.A Soerjosoepranoto
menjadi Mangkunegaran VII. Syarekat Islam memiliki kebudayaan yang critical
terhadap sistem kekuasaan. Karena itu Soerjopranoto lebih memilih meninggalkan
Boedi Oetomo dan mengikuti Syarekat Islam yang cenderung critical.
Para pengurus organisasi Syarekat Islam dan Budi Utomo
rata-rata adalah
golongan menengah keatas yang memiliki kecenderungan rasionalisasi.
Rasionalisasi merupakan cita-cita kelas menengah yang penting, yang membedakan
jaman mereka dengan jaman sebelumnya. Pandangan rasional mereka menggantikan
mitos atau
mistik mengenai hubungan sebab akibat yang menjadi ciri masyarakat tradisional.
Dokter adalah orang orang yang melakukan rasionalisasi dalam bidang medis
melawan kepercayaan magis. Guru yang mengalihkan pengetahuan dari ilmu-ilmu pengetahuan modern adalah pelopor rasionalisasi
pemikiran. Dalam ekonomi agraris mereka yang tidak bertindak secara tradisional
menggunakan pola untung rugi dalam berekonomi. (Kuntowijoyo : 2018).
Generasi kelas menengah dalam perkotaan mendirikan
organisasi. Muhammadiyah adalah salah satu contoh organisasi yang langgeng
hingga melebihi satu abad. Muhammadiyah melakukan rasionalisasi di
lingkungannya dengan menggugat banyak kegiatan ritual dan semiritual
tradisional. Melalui perjuangan berat KH. Ahmad Dahlan dan para santrinya yang
muda-muda dan
dari golongan menengah, mereka mengubah pola pikir dalam beragama yang bercampur dengan kesyirikan, melawan kristenisasi yang dibawa penjajah,
menegakkan tuntunan melawan ideologi yang tidak sesuai dengan tuntunan Rasul,
mengembangkan pemikiran amal melalui Al Ma’un.
Generasi muda yang memiliki rasionalisasi harus
mengisi kepemimpinan Muhammadiyah. KH AR. Fakhrudin, atau sering
dipanggil pak AR, berkata,” Saya teringat perintis perintis kuno
Muhammadiyah seperti K.H. Ahmad dahlan, K.H. Fakhrudin, K.H. Mas Mansur, K. Mukhtar Bukhari, Ki Bagus, K.H.
M. Yunus Anis, K.H. Farid Ma’ruf, Abuya
A.R Sutan Mansyur, Abuya Prof. Hamka dan banyak lagi yang tidak dapat disebutkan
disini, ketika beliau-beliau masih muda itu masih remaja memimpin
Muhammadiyah”. Mereka masih
muda, pikirannya masih segar, tenaganya masih kuat dan lincah. Kesanggupan menderita
masih cukup. Bukan sembarang muda, sembarang remaja, tapi seperti remajanya Ali Bin Abi Thalib,
Usamah bin Zaid, Khalid Bin Walid dan lain lain. Meskipun pemuda tampil tapi
para sesepuh harus tetap membimbing dan mengawal terus.
Rasionalisasi dalam bermuhammadiyah bagi generasi muda
tidak semata-mata
mengandalkan akal. Pak AR dalam sebuah forum tanya jawab agama di UGM juga
mewanti-wanti
agar mahasiswa yang suka berfikir filosopis jangan terlalu rasional dalam
menanyakan masalah masalah agama, ”Saya takut nanti ada yang tanya kenapa sholat
subuh dua rokaat, padahal waktu subuh kan orang masih segar dan tenaganya kumpul penuh”. Bagaimana saya bisa menjawab? KH. AR. Fakrudin
memberikan nasehat kepada para pemuda Islam serta keluarga muda persyarikatan agar mereka selalu mematuhi perintah Allah dan berbekal taqwa. Beliau
berkata,
”Jika ada kesulitan-kesulitan melanda, hendaknya keduanya sama-sama mendekatkan diri kepada Allah untuk mengadu, mengeluh,
meratap kepada-Nya, dengan sepenuh keyakinan, dan kepastian datangnya
pertolongan dan penyelesaian dari Allah SWT tanpa ragu ragu”. Dalam kesempatan lain beliau juga memberikan
nasehat,
”Anggota Muhammadiyah yang telah berusia 25-30
tahun, seyogyanya sudah gemar melakukan sholat sholat nawafil (sunnah) lebih-lebih sholat rawatib. Anggota Muhammadiyah yang telah
berumur 40 tahun, seyogyanya sudah gemar melakukan sholat lail/shalat malam,
atau shalat witir, atau shalat tahajud. Bila sudah dapat melaksanakannya
hendaknya dilakukan dengan tidak tergesa gesa. Bahkan lebih tenang, lebih
panjang tuma’ninah-nya, lebih banyak membaca tasbihnya baik di
waktu ruku’ maupun di
waktu sujud, karena tidak ada yang ma’mum”.
Ditulis oleh: Kamas Tontowi (Ketua Majelis Pendidikan dan Kader Kabupaten Trenggalek)
Referensi
1.
Hery Sucipto. Senarai Tokoh Muhammadiyah. Pemikiran dan Kiprahnya.
Grafindo. 2005
2.
Prof. Dr. Masyitoh Chusnan, M.Ag. Tasawuf Muhammadiyah, Menyelami
Spiritual Leadership AR. Fakhruddin . Kubah Ilmu. 2009
3.
Drs. Tinni Ghafiruddin. Tak Lelah Menggembirakan Umat. Suara
Muhammadiyah. 2015.
4.
Dr. Kuntowijoyo. Demokrasi dan Budaya Birokrasi. IRCiSoD. 2018.
Komentar
Posting Komentar