Siswa Disabilitas dalam Kelas Reguler. bag 2
Robert juga menjelaskan Individuals with
Disabilities Education Act (IDEA) atau Undang Undang Pendidikan untuk Individu dengan
Disabilitas mendasarkan pada empat pemikiran sebagai pijakan.
1.
Para siswa seharusnya dididik
dalam lingkungan yang bersifat membatasi.
2.
Anak-anak berkebutuhan khusus seharusnya memiliki rencana pendidikan
yang terindividualisasi (individualized education plan).
3.
Prosedur evalusi seharusnya adil dan tidak diskriminatif.
4.
Hak-hak anak dijamin melalui proses yang tepat.
Poin kata-kata bersifat membatasi memberikan arti bahwa anak-anak dengan
disabilitas sedapat mungkin dimasukkan ke dalam lingkungan kelas-kelas reguler.
Siswa dengan disabilitas dalam bentuk fisik, emosi dan belajar sangat ringan
diberikan kesempatan untuk berbaur secara penuh, mengikuti kegiatan sampai
akhir pelajaran. Sedangkan anak-anak dengan disabilitas lebih serius sebaiknya mendapatkan
bimbingan berupa bantuan ekstra dari pendidik khusus ketika mereka berbaur di
dalam kelas ataupun di luar kelas. Anak-anak juga sebaiknya mengikuti kegiatan
pembelajaran tidak secara penuh. Mereka mengikuti kegiatan hanya setengah hari.
Lembaga sangat berharap perkembangan anak-anak tersebut semakin hari semakin
serius mengikuti kegiatan pembelajaran. Ketika anak-anak dengan disabilitas
tumbuh lebih serius maka tugas guru reguler lebih ringan.
Poin kedua mengatakan bahwa sebaiknya anak-anak disabilitas memiliki
Individual Education Plan atau IEP. IEP adalah rencana pembelajaran yang
dikembangkan komite berhubungan dengan anak-anak disabilitas tersebut. Mereka
adalah komite sekolah, kepala sekolah, guru kelas reguler, orang tua murid,
guru pendidik khusus, psikolog, terapis terapis berbicara, personalia medis,
dan beberapa pihak yang mungkin bisa membantu. IEP bermanfaat untuk menunjukkan
perkembangan prestasi terkini dalam bidang akademis dan hal hal yang digunakan
untuk menentukan tujuan dalam mengembangkan masa depan anak. IEP serta guru
pembimbing dan anak-anak lain bekerja sama dengan sebaik baiknya untuk
perkembangan anak anak disabilitas.
Kontroversi terjadi tentang perlu tidaknya pelabelan pada anak
disabilitas. Sekolah seharusnya mendapatkan dana tambahan dari negara untuk kegiatan
pembelajaran ini. Dana tambahan mewajibkan sekolah mencantumkan pelabelan terhadap siswa disabilitas. Dana
tambahan untuk membeli sarana prasaran untuk evaluasi dalam berbagai kebutuhan.
Dana tambahan mengharuskan pelabelan khusus pada anak anak disabilitas. Komite
untuk menangani siswa disabilitas mengakui kelemahan sarana prasarana dan
penempatan siswa tersebut. Orang orang yang setuju dengan pelabelan memberikan
pendapat bahwa pelabelan akan membantu pendidik memenuhi kebutuhan kebutuhan
siswa. Tanpa pelabelan sama saja melempar bayi bersama dengan air mandinya.
Penentang pelabelan berpendapat bahwa pelabelan membuat pendidik berpendapat
bahwa perilaku yang bermasalah pada anak adalah sesuatu yang melekat pada anak.
Sebaiknya guru guru yang mengikuti pendapat ini mengabaikan kekurangan
kekurangan pada anak. Label pada anak membuat mereka menjadi permanen di
program pendidikan khusus tersebut.
Meskipun kontroversi terjadi undang undang perlindungan terhadap siswa
disabilitas harus dikuatkan.
Masih banyak hal hal yang harus dipertimbangkan dalam pelaksanaan
kegiatan peleburan siswa disabilitas kedalam kelas reguler. Hal hal tersebut
adalah bagaimana pelaksanaan kerja sama antara guru dan siswa disabilitas di
kelas, bagaimana mengkategorikan siswa disabilitas, bagaimana pengembvangan IEP
yang dibuat atas kerjasama sekolah dan orang tua, bagaimana menata fisik kelas,
bagaimana pengembangan kurikulum yang relevan antara siswa biasa dan luar
biasa, dan bagaimana jenis jenis sarana prasana yang memadai untuk membantu
siswa siswa disabilitas seta bagaimana hubungan antara guru dan orang tua
tentang perkembangan siswa siswa disabilitas. (Kamas Tontowi)
Rujukan : Richard
L Arends, Belajar untuk Mengajar Learning to Teach, Penerbit Salemba Humanika :
2013
Tulisan keren. Bermanfaat.
BalasHapus